Sedikit , Essay tentang Ruang Terbuka Hijau di Surabaya sebagai tugas MK Kewarganegaraan :
Tata Ruang sebagai Penunjang Keberlanjutan Kehidupan NKRI
Khususnya Wilayah Kota Surabaya
Negara
Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman spesies yang sangat beragam atau
bisa dibilang mega biodiversitas. Sumber kekayaan alam dan manusia sangat berlimpah.
Keanekaragaman inilah yang harusnya menjadi fondasi stabilnya suatu negara
karena tidak kekurangan sumber daya apapun. Lalu, bagaimana Indonesia sekarang
di era pembangunan. Sedang gencar gencarnya membangun, para pemenang thender berlomba lomba memenangkan
proyek dengan proposal sehemat dan semewah mungkin. Pemerintah menyetujui
segala bentuk pembangunan, entah setuju karena birokrasi atau setuju karena
selipan rupiah di akhir salam perpisahan.
Kegencaran
dalam pembangunan tentunya diserahkan kepada pemerintah daerah di masing masing
daerahnya. Hanya beberapa program pemerintah pusat yang hadir di wilayah
pemerintahan daerah. Tentunya dengan anggaran yang ada setiap pemerintah daerah
kembali mengumbar janji diawal kampanye dan seperti biasa, lupa di kemudian
setelah jadi. Mengumbar janji menyejahterakan rakyat, janji bangun sana bangun
sini bangun gedung ini bangun gedung itu. Apakah dalam pembangunannya mereka
orang orang atas memikirkan yang namanya
konsep sustainable development atau
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dimana dengan konsep
pembangunan prolingkungan tetap menjaga agar ekologi dari suatu daerah tetap
berjalan. Berjalan yang dimaksud jelas dengan waktu yang selama lamanya dengan
resiko kematian sekecil kecilnya. Hidup nyaman dengan rantai makanan yang
seharusnya.
Sebagai
salah satu bentuk peduli pemerintah diwujudkanlah semuanya kedalam Undang
Undang , Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tertuang dalam UU. No 32
2009. Disana tertuang juga bab tentang penataan ruang. Lalu buat apakah suatu
daerah diwajibkan menuruti substansi dari undang undang tersebut? ya jelas
untuk menjaga kelestarian ekologi sehingga bisa tetap hidup nyaman untuk selama
lamanya.
Bagaimanakah
peran pemerintah, apa hubungan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dengan otonominya? Dalam peraturan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009,
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangkauan provinsi itu di
tangani oleh provinsi atau gubernur dan dalam jangkauan daerah tingkat II
kabupaten atau kota di tangani oleh Bupati atau Walikota. Peran mereka jelas
mengamalkan bagaimana yang tertuang dalam undang undang, bagaimana
implementasinya dengan pemerintah daerah, mayoritas pemerintah daerah saling
pamer kebijakan dan menganggap ini wilayahku dan itu wilayahmu. Tidak boleh ada
yang mengganggu gugat. Kenyataan itu sangat tidak baik mengingat ilmu lingkungan
adalah ilmu yang sangat kompleks, bukan lagi disiplin ilmu, tapi interdisiplin.
Berbagai bentuk inovasi, discovery
dan invention semua harus melihat
dampak kelingkungan, apapun itu. Barang barang apapun pasti berujung ke
lingkungan karena hukum kekekalan materi dan energi tidak bisa dipungkiri dan
tak akan hilang, mau itu elektronik , permesinan , perkayuan dan segala macam
apapun itu semua kembali ke lingkungan. Ambil suatu contoh, pakar elektronik
membuat notebook seelastis kertas, dengan sinyal terkuat dimanapun dan
kapanpun. Lalu bagaimana dengan casing notebook, setelah digunakan harus dibawa
kemana dan diolah kemana , padahal casing tersebut termasuk dalam limbah bahan
berbahaya dan beracun. Belum cukup kasus casing, bagaimana radiasi pancaran
sinyal yang keluar masuk notebook tersebut? Sudah bukan barang ajaib kalau
radiasi tersebut berefek kemandulan.
Kembali
keperan pemerintah daerah yang punya wewenang secara khusus menangani daerahnya
untuk tetap memiliki ekosistem yang baik dan tidak mengganggu satu sama lain.
Pewenangan secara khusus atau yang disebut khalayak adalah otonomi daerah,
dalam menangani kasus lingkungan yang terjadi adalah pemerintah daerah tingkat
II harus tetap saling berkoordinasi dengan pemerintah setingkat wilayah lain
,atau dengan pemerintah daerah tingkat I, mengapa demikian karena wilayah
ekologi negara Indonesia itu faktanya tidak sama persis dengan pembagian
wilayah versi pemerintah. Wilayah ekologi sangat banyak bahkan hampir menyeluruh
saling melintasi wilayah hukum. Seandainya para pengguna otonomi daerah sangat
susah mengerti hal ini maka janji dalam kesejahteraan rakyat jelas sebuah
kemunafikan. Lalu lintas wilayah ekologi memerlukan kebijaksanaan dalam membuat
keputusan.
Kasus:
Terminal Purabaya, sudah jelas dari
namanya yang samar mirip dengan Surabaya, letaknya adalah antara kota Surabaya
dengan kota Sidoarjo. Pada awal pembuatannya di daerah bungurasih sekitar tahun
1989 – 1992 sangatlah anggun manakala ini juga merupakan terminal terbesar
se-Asia.Penamaan purabaya nampaknya masih kurang akrab di telinga warga hingga
kini, warga atau masyarakat lebih senang menyebutnya dengan sebutan bungurasih.
Pendirian terminal purabaya pada
lingkup hukum merupakan bentuk pengamalan dari Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang
mengatur tentang agraria. Saat pembangunan terminal Purabaya belum terbentuk
Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang akan tetapi masih ada
dasar hukumnya yaitu Staadsvorm
ingsordonantie, staadbland tahun
tahun 1948 No. 163 yang memberi Pengaturan Bidang Pembentukan Kota. Pada saat
itu memang belumlah terdapat Undang-undang tentang pemerintahan daerah apalagi
undang undang yang lebih otonomis akan tetapi sekarang undang undang yang sudah
otonomis sudah terbuat, lalu bagaimanakah pemerintah daerah menyikapi posisi
terminal purabaya yang seharusnya bisa menjadi ruang terbuka hijau.
Posisi terminal purabaya memang
terbagi antara pemerintahan sidoarjo dan pemerintahan daerah Surabaya. Pada
proses pembuatannya melalui izin gubernur sangatlah mudah dalam proses
pembangunannya dimana gubernur pada saat itu sebagai penguasa tunggal pada
zamannya. Kedua pemda baik Sidoarjo maupun Surabaya dapat dengan mudah berbagi
keuntungan walaupun berjalan seiring waktu mereka saling menuding atas
mega-polusi yang terjadi di terminal Bungurasih.
Seiring berjalan dari langkah awal
ditahun 1990 terminal purabaya yang
dahulu begitu anggun, indah dan nyaman sekarang berubah menjadi terminal pesing
, kucel dan begitu kumuh sehingga makin menunjukkan betapa bobroknya kedua
pemerintah daerah yang kini saling tuding. Dahulu ketika awal mengingat
manisnya sistem bagi hasil manis pula ucapan dalam perjanjian, setelah berjalan
waktu ya kembalilah ke sifat asalnya. Berbagai alasan pemerintah yang sekarang
“berbeda” dengan yang dulu. Bukanlah waktunya menguji siapa yang salah , kini
waktunya pembenahan , harusnya dengan kewenangan otonomi daerah para pemimpin
berlomba berkaca dan bersisir untuk Purabaya, menjadikannya terminal tampan
yang mampu mengatasi polusi yang disebabkan angkutan umum. Purabaya saat ini
tidak perlu pengganti, cukup merevitalisasi semua sarana dan prasarana serta
menjadikannya ruang terbuka hijau agar tetap sustainaible.
Contoh lain, masih seputar Surabaya
tempat saya menimba ilmu. Kota Surabaya tak seindah dulu lagi, dahulu kota
pahlawan kini kota? Tetap pahlawan tapi anak cucu pahlawan yang kebanyakan lupa
tentang jati diri mereka. Khusus untuk para pemimpinnya yang wajibnya
menyejahterakan rakyat dengan tatanan ekologis yang mumpuni untuk penghasilan
masyarakat sendiri,tetapi justru menjadikan Surabaya dengan sederatan altar
megah bergaya eropa menginjak injak tatanan ruang Surabaya. Saat ini dalam
takaran ekologis Surabaya harus benar benar berhati hati, kewajaran planologis
Surabaya sudah diambang batas. Lihat banjir yang selalu datang kekota Surabaya,
adalah bencana alam? Jelas bencana alam buatan manusia rakus. Mereka bilang
bencana ini adalah bencana tahunan, lima tahunan , sepuluh tahunan yang
merupkan kewajaran gejala alam padahal ya inilah ulah mereka yang melakukan
perjanjian atas selipan rupiah.
Masyarakat harusnya berhak minta keadilan atas terganggunya kehidupan
mereka dengan bencana banjir buatan.
Sebagai bukti lain, Lahan konservasi dan Tangkapan air di
Surabaya Timur kini telah diubah menjadi kawasan Perumahan Pantai Timur
Surabaya dengan hutan bakau yang dulu menjadi pelindung luas Surabaya agar tak
ter-abrasi. Daerah tersebut di uruk dan
otomatis, ya banjirlah jawabnya. Jadi banjir Surabaya bukanlah seratus persen
ulah alam, tapi harus diketahui bahwa itu karena kesalahan tata ruang yang
menghancurkan tatanan ekologis dan meratakan jaringan sosiologis.
Ada lagi, Hutan kota yang sejak tahun 1923 di Surabaya
Selatan mulai dari wonokromo sampai hutan Wiyung dan berakhir bagian barat
(Benowo) telah diubah menjadi benteng beton. Tempat penyimpanan air kota Surabaya
telah dihancurkan, maka apalagi? Ya jelaslah krisis air dan banjir solusi alam
mengadaptasi ulah manusia rakus. Bahkan Reklamasi diam diam juga menggeliat di
surabaya Utara yang berpotensi makin menyakiti surabaya . Lahan yang terbentang
di wilayah asem rowo atau tambaksono dapat dibuktikan sebagai fakta empiris.
Pusat kota surabaya yang kini makin “ruame”
dengan restoran,perdagangan, factory outlet hingga berujung kemacetan yang
menjadi produsen polusi terbesar sudah sangat melewati batas ditambah ruang
terbuka hijau yang katanya akhir akhir ini pemkot sedang prolingkungan den
sedang berbenah.
Mengingat, berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Surabaya nomor 03 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya
pasal 35 ayat 1, proporsi luas ruang terbuka hijau ditetapkan dan diupayakan
secara bertahap sebesar 20% dari luas wilayah kota. Luas wilayah seluruh Kota
Surabaya 32.637,75 Ha artinya. luasan yang harus diperuntukkan ruang
terbuka hijau sebesar 6.527,55 Ha. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) kota Surabaya 2013, kondisi eksisting ruang terbuka hijau seluas 171,68
Ha. Luasan tersebut terdiri dari 103,29 Ha taman kota, 30,64 Ha lapangan
olahraga, dan 37,75 Ha makam. Perlu upaya keras untuk mewujudkan 6.247,47 Ha
lahan sebagai ruang terbuka hijau.
Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya
nomor 07 tahun 2002, tentang pengelolaan ruang terbuka hijau disebutkan bahwa
ruang terbuka hijau tak hanya berupa hutan kota, melainkan kawasan hijau yang
berfungsi sebagai pertamanan, rekreasi, permakaman, pertanian, jalur hijau, dan
pekarangan. (http://office.pusdakota.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=25%3Aruang-terbuka-hijau-dan-urban-farming-di-kota-surabaya&catid=17%3Aartikel&lang=id)
Begitu kompleksnya permasalahan yang
ada tentang ruang terbuka hijau di Surabaya, tentunya harus menjadikan cambuk
pembangunan kota yang lebih rapi. Otonomi daerah merupakan salah satu penguat
pemkot Surabaya untuk lebih arif dan bijaksana dalam pengelolaannya sehingga
kelak terwujudlah masyrakat yang hidupnya tentram karena masyarakat,
pembangunan dan ekologinya yang sustainable. Begitu terwujud, tentunya rasa
persatuan bangsan dan cinta tanah aiar akan tumbuh subur dan sulit dihancurkan.
Akhir kata, bentuklah masyarakat yang memiliki pemikiran berkelanjutan di
awalai dari pemimpin, kemudian aturlah pembangunan yang berkelanjutan melihat
dampak secara menyeluruh barulah akan tercipta tatanan ekologi yang baik. Ayo
INDONESIA.
“otonomi bukanlah judul tapi amanat
agar penguasa bukan musuh masyarakat”
Reference:
- Buku Politik Otonomi Daerah untuk
Penguatan NKRI, karya bapak Ir. H. Isran Noor, M.Si,
-
Wijoyo, S.2012 .Hukum Lingkungan di antara Para Pemalas.Surabaya: Airlangga
University Press.
Kritik dan Saran Sangat Membantu, terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar