Selasa, 30 April 2013

Otonomi Daerah terkait Ruang Terbuka Hijau "Otoda Isrannoor"

Sedikit , Essay tentang Ruang Terbuka Hijau di Surabaya sebagai tugas MK Kewarganegaraan :

Tata Ruang sebagai Penunjang Keberlanjutan Kehidupan NKRI Khususnya Wilayah Kota Surabaya

Negara Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman spesies yang sangat beragam atau bisa dibilang mega biodiversitas. Sumber kekayaan alam dan manusia sangat berlimpah. Keanekaragaman inilah yang harusnya menjadi fondasi stabilnya suatu negara karena tidak kekurangan sumber daya apapun. Lalu, bagaimana Indonesia sekarang di era pembangunan. Sedang gencar gencarnya membangun, para pemenang thender berlomba lomba memenangkan proyek dengan proposal sehemat dan semewah mungkin. Pemerintah menyetujui segala bentuk pembangunan, entah setuju karena birokrasi atau setuju karena selipan rupiah di akhir salam perpisahan.
Kegencaran dalam pembangunan tentunya diserahkan kepada pemerintah daerah di masing masing daerahnya. Hanya beberapa program pemerintah pusat yang hadir di wilayah pemerintahan daerah. Tentunya dengan anggaran yang ada setiap pemerintah daerah kembali mengumbar janji diawal kampanye dan seperti biasa, lupa di kemudian setelah jadi. Mengumbar janji menyejahterakan rakyat, janji bangun sana bangun sini bangun gedung ini bangun gedung itu. Apakah dalam pembangunannya mereka orang orang atas memikirkan  yang namanya konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dimana dengan konsep pembangunan prolingkungan tetap menjaga agar ekologi dari suatu daerah tetap berjalan. Berjalan yang dimaksud jelas dengan waktu yang selama lamanya dengan resiko kematian sekecil kecilnya. Hidup nyaman dengan rantai makanan yang seharusnya.
Sebagai salah satu bentuk peduli pemerintah diwujudkanlah semuanya kedalam Undang Undang , Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tertuang dalam UU. No 32 2009. Disana tertuang juga bab tentang penataan ruang. Lalu buat apakah suatu daerah diwajibkan menuruti substansi dari undang undang tersebut? ya jelas untuk menjaga kelestarian ekologi sehingga bisa tetap hidup nyaman untuk selama lamanya.
Bagaimanakah peran pemerintah, apa hubungan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan otonominya? Dalam peraturan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangkauan provinsi itu di tangani oleh provinsi atau gubernur dan dalam jangkauan daerah tingkat II kabupaten atau kota di tangani oleh Bupati atau Walikota. Peran mereka jelas mengamalkan bagaimana yang tertuang dalam undang undang, bagaimana implementasinya dengan pemerintah daerah, mayoritas pemerintah daerah saling pamer kebijakan dan menganggap ini wilayahku dan itu wilayahmu. Tidak boleh ada yang mengganggu gugat. Kenyataan itu sangat tidak baik mengingat ilmu lingkungan adalah ilmu yang sangat kompleks, bukan lagi disiplin ilmu, tapi interdisiplin. Berbagai bentuk inovasi, discovery dan invention semua harus melihat dampak kelingkungan, apapun itu. Barang barang apapun pasti berujung ke lingkungan karena hukum kekekalan materi dan energi tidak bisa dipungkiri dan tak akan hilang, mau itu elektronik , permesinan , perkayuan dan segala macam apapun itu semua kembali ke lingkungan. Ambil suatu contoh, pakar elektronik membuat notebook seelastis kertas, dengan sinyal terkuat dimanapun dan kapanpun. Lalu bagaimana dengan casing notebook, setelah digunakan harus dibawa kemana dan diolah kemana , padahal casing tersebut termasuk dalam limbah bahan berbahaya dan beracun. Belum cukup kasus casing, bagaimana radiasi pancaran sinyal yang keluar masuk notebook tersebut? Sudah bukan barang ajaib kalau radiasi tersebut berefek kemandulan.
Kembali keperan pemerintah daerah yang punya wewenang secara khusus menangani daerahnya untuk tetap memiliki ekosistem yang baik dan tidak mengganggu satu sama lain. Pewenangan secara khusus atau yang disebut khalayak adalah otonomi daerah, dalam menangani kasus lingkungan yang terjadi adalah pemerintah daerah tingkat II harus tetap saling berkoordinasi dengan pemerintah setingkat wilayah lain ,atau dengan pemerintah daerah tingkat I, mengapa demikian karena wilayah ekologi negara Indonesia itu faktanya tidak sama persis dengan pembagian wilayah versi pemerintah. Wilayah ekologi sangat banyak bahkan hampir menyeluruh saling melintasi wilayah hukum. Seandainya para pengguna otonomi daerah sangat susah mengerti hal ini maka janji dalam kesejahteraan rakyat jelas sebuah kemunafikan. Lalu lintas wilayah ekologi memerlukan kebijaksanaan dalam membuat keputusan.
Kasus:
            Terminal Purabaya, sudah jelas dari namanya yang samar mirip dengan Surabaya, letaknya adalah antara kota Surabaya dengan kota Sidoarjo. Pada awal pembuatannya di daerah bungurasih sekitar tahun 1989 – 1992 sangatlah anggun manakala ini juga merupakan terminal terbesar se-Asia.Penamaan purabaya nampaknya masih kurang akrab di telinga warga hingga kini, warga atau masyarakat lebih senang menyebutnya dengan sebutan bungurasih.
            Pendirian terminal purabaya pada lingkup hukum merupakan bentuk pengamalan dari Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang agraria. Saat pembangunan terminal Purabaya belum terbentuk Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang akan tetapi masih ada dasar hukumnya yaitu Staadsvorm ingsordonantie, staadbland tahun tahun 1948 No. 163 yang memberi Pengaturan Bidang Pembentukan Kota. Pada saat itu memang belumlah terdapat Undang-undang tentang pemerintahan daerah apalagi undang undang yang lebih otonomis akan tetapi sekarang undang undang yang sudah otonomis sudah terbuat, lalu bagaimanakah pemerintah daerah menyikapi posisi terminal purabaya yang seharusnya bisa menjadi ruang terbuka hijau.
            Posisi terminal purabaya memang terbagi antara pemerintahan sidoarjo dan pemerintahan daerah Surabaya. Pada proses pembuatannya melalui izin gubernur sangatlah mudah dalam proses pembangunannya dimana gubernur pada saat itu sebagai penguasa tunggal pada zamannya. Kedua pemda baik Sidoarjo maupun Surabaya dapat dengan mudah berbagi keuntungan walaupun berjalan seiring waktu mereka saling menuding atas mega-polusi yang terjadi di terminal Bungurasih.
            Seiring berjalan dari langkah awal ditahun  1990 terminal purabaya yang dahulu begitu anggun, indah dan nyaman sekarang berubah menjadi terminal pesing , kucel dan begitu kumuh sehingga makin menunjukkan betapa bobroknya kedua pemerintah daerah yang kini saling tuding. Dahulu ketika awal mengingat manisnya sistem bagi hasil manis pula ucapan dalam perjanjian, setelah berjalan waktu ya kembalilah ke sifat asalnya. Berbagai alasan pemerintah yang sekarang “berbeda” dengan yang dulu. Bukanlah waktunya menguji siapa yang salah , kini waktunya pembenahan , harusnya dengan kewenangan otonomi daerah para pemimpin berlomba berkaca dan bersisir untuk Purabaya, menjadikannya terminal tampan yang mampu mengatasi polusi yang disebabkan angkutan umum. Purabaya saat ini tidak perlu pengganti, cukup merevitalisasi semua sarana dan prasarana serta menjadikannya ruang terbuka hijau agar tetap sustainaible.
            Contoh lain, masih seputar Surabaya tempat saya menimba ilmu. Kota Surabaya tak seindah dulu lagi, dahulu kota pahlawan kini kota? Tetap pahlawan tapi anak cucu pahlawan yang kebanyakan lupa tentang jati diri mereka. Khusus untuk para pemimpinnya yang wajibnya menyejahterakan rakyat dengan tatanan ekologis yang mumpuni untuk penghasilan masyarakat sendiri,tetapi justru menjadikan Surabaya dengan sederatan altar megah bergaya eropa menginjak injak tatanan ruang Surabaya. Saat ini dalam takaran ekologis Surabaya harus benar benar berhati hati, kewajaran planologis Surabaya sudah diambang batas. Lihat banjir yang selalu datang kekota Surabaya, adalah bencana alam? Jelas bencana alam buatan manusia rakus. Mereka bilang bencana ini adalah bencana tahunan, lima tahunan , sepuluh tahunan yang merupkan kewajaran gejala alam padahal ya inilah ulah mereka yang melakukan perjanjian atas selipan rupiah.  Masyarakat harusnya berhak minta keadilan atas terganggunya kehidupan mereka dengan bencana banjir buatan.
            Sebagai bukti lain,  Lahan konservasi dan Tangkapan air di Surabaya Timur kini telah diubah menjadi kawasan Perumahan Pantai Timur Surabaya dengan hutan bakau yang dulu menjadi pelindung luas Surabaya agar tak ter-abrasi.  Daerah tersebut di uruk dan otomatis, ya banjirlah jawabnya. Jadi banjir Surabaya bukanlah seratus persen ulah alam, tapi harus diketahui bahwa itu karena kesalahan tata ruang yang menghancurkan tatanan ekologis dan meratakan jaringan sosiologis.

Ada lagi, Hutan kota yang sejak tahun 1923 di Surabaya Selatan mulai dari wonokromo sampai hutan Wiyung dan berakhir bagian barat (Benowo) telah diubah menjadi benteng beton. Tempat penyimpanan air kota Surabaya telah dihancurkan, maka apalagi? Ya jelaslah krisis air dan banjir solusi alam mengadaptasi ulah manusia rakus. Bahkan Reklamasi diam diam juga menggeliat di surabaya Utara yang berpotensi makin menyakiti surabaya . Lahan yang terbentang di wilayah asem rowo atau tambaksono dapat dibuktikan sebagai fakta empiris. Pusat kota surabaya yang kini makin “ruame” dengan restoran,perdagangan, factory outlet hingga berujung kemacetan yang menjadi produsen polusi terbesar sudah sangat melewati batas ditambah ruang terbuka hijau yang katanya akhir akhir ini pemkot sedang prolingkungan den sedang berbenah.
            Mengingat, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surabaya nomor 03 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya pasal 35 ayat 1, proporsi luas ruang terbuka hijau ditetapkan dan diupayakan secara bertahap sebesar 20% dari luas wilayah kota. Luas wilayah seluruh Kota Surabaya 32.637,75 Ha artinya. luasan yang harus diperuntukkan ruang terbuka hijau sebesar 6.527,55 Ha. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Surabaya 2013, kondisi eksisting ruang terbuka hijau seluas 171,68 Ha. Luasan tersebut terdiri dari 103,29 Ha taman kota, 30,64 Ha lapangan olahraga, dan 37,75 Ha makam. Perlu upaya keras untuk mewujudkan 6.247,47 Ha lahan sebagai ruang terbuka hijau.
Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya nomor 07 tahun 2002, tentang pengelolaan ruang terbuka hijau disebutkan bahwa ruang terbuka hijau tak hanya berupa hutan kota, melainkan kawasan hijau yang berfungsi sebagai pertamanan, rekreasi, permakaman, pertanian, jalur hijau, dan pekarangan. (http://office.pusdakota.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=25%3Aruang-terbuka-hijau-dan-urban-farming-di-kota-surabaya&catid=17%3Aartikel&lang=id)
Begitu kompleksnya permasalahan yang ada tentang ruang terbuka hijau di Surabaya, tentunya harus menjadikan cambuk pembangunan kota yang lebih rapi. Otonomi daerah merupakan salah satu penguat pemkot Surabaya untuk lebih arif dan bijaksana dalam pengelolaannya sehingga kelak terwujudlah masyrakat yang hidupnya tentram karena masyarakat, pembangunan dan ekologinya yang sustainable. Begitu terwujud, tentunya rasa persatuan bangsan dan cinta tanah aiar akan tumbuh subur dan sulit dihancurkan. Akhir kata, bentuklah masyarakat yang memiliki pemikiran berkelanjutan di awalai dari pemimpin, kemudian aturlah pembangunan yang berkelanjutan melihat dampak secara menyeluruh barulah akan tercipta tatanan ekologi yang baik. Ayo INDONESIA.
“otonomi bukanlah judul tapi amanat agar penguasa bukan musuh masyarakat”
Reference:
- Buku Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI, karya bapak Ir. H. Isran Noor, M.Si,
- Wijoyo, S.2012 .Hukum Lingkungan di antara Para Pemalas.Surabaya: Airlangga University Press.
 
 Kritik dan Saran Sangat Membantu, terimakasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar